Kehidupan antar suku pada jaman dahulu, tak selalu berjalan dengan keharmonisan seperti sekarang. Nenek moyang pada zaman itu telah mengetahui bagaimana harus berinteraksi, tetapi karena ada sesuatu satu masalah yang timbul maka terjadilah percekcokan yang melibatkan seluruh keluarga dari Suku punang dan Suku atawua.
Adapun suku atawua adalah sebuah suku yang mendiami desa tetangga bagian timur desa lolong. Desa ini bernama Desa Tewaowutung. Konon diceritakan bahwa nenek moyang suku atapune (punang) tinggal di daerah yang berbatasan dengan wilayah desa Tewaowutung, dan sering mencari ikan di teluk wailei desa tewaowutung. Salah seorang moyang atapune ini bernama “RAI” mencari ikan dengan cara memasang bubu (sejenis perangkap yang terbuat dari bambu) yang dipasang pada kolam yang terbentuk kala air laut surut di pantai itu. Pada suatu hari Moyang suku atapune ini pergi ke teluk wailei untuk mengambil perangkap ikan yang telah dipasangnya. Sesampainya disana perangkap ikan ini terlihat tak seperti biasanya yang selalu penuh dengan ikan. Moyang ini mulai mulai mencurigai salah seorang moyang dari suku atawua bernama “SUBAN” yang kebetulan saat itu barusan pulang memancing ikan di teluk itu. Kecurigaan ini semakin diperkuat dengan terlihatnya sisik-sisik ikan di tempat Moyang atawua ini membersihkan ikan.
Perdebatan itu terus berlanjut , akhirnya kedua moyang ini sepakat untuk membuat sebuah upacara untuk mengetahui siapa yang bersalah. Beginilah mereka mencari kebenaran atas apa yang tengah mereka perdebatkan. Seekor kambing yang masih hidup disiapkan berdiri diatas karang. Siapa yang berhasil menebas leher kambing dalam 1 kali tebasan berarti dialah yang benar, dan siapa yang tidak behasil berati dialah yang salah. Dalam upacara ini, yang tampil menebas kepala kambing lebih dahulu adalah dari Suku atapune dan ternyta tidak berhasil. Luka di leher kambing pun tak ada. Lawannya dari suku atawua berhasil menebas leher kambing ini, dan parang yang digunakan untuk menebas langsung menancap di batu karang.
Menurut kepercayaan orang yang pada waktu itu mendiami wliayah ini, upacara semacam itu dilarang. Upacara yang dilakukan dua orang moyang ini ternyata mewariskan dosa atas alam dan leluhur yang ada di pantai ini. Dalam beberapa abad, angota keluarga dari masing2 suku ini tidak boleh masuk di rumah adat. Suku punang tidak boleh masuk di rumah adat suku atawua, dan juga rumah keluarga atawua yang menyimpan barang-barang warisan suku. Lalu sebaliknya suku atapune juga demikian. Dosa ini ternyata ditanggungkan kepada generasi masing-masing suku (suku punang & suku atawua) . Sehingga apabila ada anggota keluarga yang sakit dari kedua suku ini selalu dikaitkan dengan masalah upacara kedua moyang di teluk wailei ini.
Tahun-tahun berlalu, pada bulan September 2016 akhirnya muncul inisiatif untuk mendamaikan kedua suku ini. Orang pintar (dukun) diberi mandat untuk berkomunikasi dengan leluhur masing2 suku. Suku punang memberi mandat kepada Bapak Niko Tea Sura (dari desa pasir putih) dan suku atawua memberikan mandat kepada Bapak Tinus watu Blolong (dari desa Lolong). Dalam menyampaikan hasil konsultasi dengan pihak leluhur masing2 suku mempercayakan 2 (dua) orang sebagai pembawa pesan dari dukun kepada masing2 ketua suku. Hal ini dilakukan karena pihak yang terlibat dalam masalah pertikaian ini tidak boleh berkomunikasi langsung dengan dukun. Suku atapune mempercayakan Bapak. Sipri Boli Blolong dan Suku Atawua mempercayakan Bapak Pius Laba Liman.
Dari kedua mediator ini, akhirnya diketahui bahwa alasan upacara yang dilakukan di teluk wailei itu menjadi dosa suku, adalah karena kambing yang telah ditebas tidak boleh dibiarkan di tempat itu. Kambing harus dibawa untuk diolah menjadi makanan. Dan alasan yang kedua adalah karena bekas parang yang menancap di batu karang itu belum diusap. Bekas parang itu harus kembali diratakan dengan pecahan-pecahan karang yang pecah pada saat parang menyentuh karang.
Upacara perdamaian kedua suku ini dimulai dari tempat kedua moyang ini melakukan upacara mencari kebenaran yaitu di teluk wailei. Selanjutnya upacara dilanjutkan rumah adat suku atawua. Hari berikutnya upacara dilakukan di rumah adat suku atapune. Pada hari itu tanggal 2 januari 2017, Suku atawua dan Suku atapune resmi berdamai nenurut leluhur.
Perdebatan itu terus berlanjut , akhirnya kedua moyang ini sepakat untuk membuat sebuah upacara untuk mengetahui siapa yang bersalah. Beginilah mereka mencari kebenaran atas apa yang tengah mereka perdebatkan. Seekor kambing yang masih hidup disiapkan berdiri diatas karang. Siapa yang berhasil menebas leher kambing dalam 1 kali tebasan berarti dialah yang benar, dan siapa yang tidak behasil berati dialah yang salah. Dalam upacara ini, yang tampil menebas kepala kambing lebih dahulu adalah dari Suku atapune dan ternyta tidak berhasil. Luka di leher kambing pun tak ada. Lawannya dari suku atawua berhasil menebas leher kambing ini, dan parang yang digunakan untuk menebas langsung menancap di batu karang.
Menurut kepercayaan orang yang pada waktu itu mendiami wliayah ini, upacara semacam itu dilarang. Upacara yang dilakukan dua orang moyang ini ternyata mewariskan dosa atas alam dan leluhur yang ada di pantai ini. Dalam beberapa abad, angota keluarga dari masing2 suku ini tidak boleh masuk di rumah adat. Suku punang tidak boleh masuk di rumah adat suku atawua, dan juga rumah keluarga atawua yang menyimpan barang-barang warisan suku. Lalu sebaliknya suku atapune juga demikian. Dosa ini ternyata ditanggungkan kepada generasi masing-masing suku (suku punang & suku atawua) . Sehingga apabila ada anggota keluarga yang sakit dari kedua suku ini selalu dikaitkan dengan masalah upacara kedua moyang di teluk wailei ini.
Tahun-tahun berlalu, pada bulan September 2016 akhirnya muncul inisiatif untuk mendamaikan kedua suku ini. Orang pintar (dukun) diberi mandat untuk berkomunikasi dengan leluhur masing2 suku. Suku punang memberi mandat kepada Bapak Niko Tea Sura (dari desa pasir putih) dan suku atawua memberikan mandat kepada Bapak Tinus watu Blolong (dari desa Lolong). Dalam menyampaikan hasil konsultasi dengan pihak leluhur masing2 suku mempercayakan 2 (dua) orang sebagai pembawa pesan dari dukun kepada masing2 ketua suku. Hal ini dilakukan karena pihak yang terlibat dalam masalah pertikaian ini tidak boleh berkomunikasi langsung dengan dukun. Suku atapune mempercayakan Bapak. Sipri Boli Blolong dan Suku Atawua mempercayakan Bapak Pius Laba Liman.
Dari kedua mediator ini, akhirnya diketahui bahwa alasan upacara yang dilakukan di teluk wailei itu menjadi dosa suku, adalah karena kambing yang telah ditebas tidak boleh dibiarkan di tempat itu. Kambing harus dibawa untuk diolah menjadi makanan. Dan alasan yang kedua adalah karena bekas parang yang menancap di batu karang itu belum diusap. Bekas parang itu harus kembali diratakan dengan pecahan-pecahan karang yang pecah pada saat parang menyentuh karang.
Upacara perdamaian kedua suku ini dimulai dari tempat kedua moyang ini melakukan upacara mencari kebenaran yaitu di teluk wailei. Selanjutnya upacara dilanjutkan rumah adat suku atawua. Hari berikutnya upacara dilakukan di rumah adat suku atapune. Pada hari itu tanggal 2 januari 2017, Suku atawua dan Suku atapune resmi berdamai nenurut leluhur.