Teknik membuat api secara tradisional dari bambu atau diistilahkan sebagai teknik Bamboo Fire Saw, memang dikenal dari zaman dahulu. Di Desa Lolong, teknik ini merupakan pengetahuan yang diwariskan oleh leluhur suku Lewugolok atau sering disebut Suku Blolong B.
Suku Lewugolok adalah sebuah suku yang berada di Desa Lolong Kabupaten Lembata,dan mempunyai rumah adat yang terletak di arah utara dari Desa Lolong. Di samping rumah adat ini, tumbuh beberapa rumpun bambu, dan diyakini sebagai peninggalan leluhur.
Bambu Kilat hitam dan Kilat Putih (Auwujo), konon sudah ada sejak dahulu, dimana dibawa oleh nenek moyang Suku Lewugolok yang bernama Tobi Lamaole dan Ose Lewotobi dari Gunung Lewotobi Pulau Flores.
Tempat perhentian pertama meraka adalah di Bukit Lamaingu (Tanjung Naga) bersama semua keluarga yang lain. karena kesulitan mendapatkan air, dan kencangnya angin di di musim tertentu sehingga mereka pindah ke bukit yang lebih aman yang sekarang di namakan Lewugolok.
Dari bambu ini mereka bisa mendapatkan api dengan cara Bambu Putih (Auwujo) di belah bagi dua dan digesek seperti menggergaji. Dari situlah munculnya api dan bisa menunjang kehidupan mereka seperti berdiang , memasak dan lain-lain.
Kedua jenis bambu ini memiliki perbedaan. Bambu kilat hitam lebih tebal, sedangkan Bambu Kilat Putih (Auwujo) lebih tipis. Bambu ini khusus digunakan untuk membangun atau memperbaiki bangunan rumah adat di situs wisata kampung lama Lewugolok.
Uniknya, bambu ini memiliki struktur yang sangat berbeda dengan bambu pada umumnya, karena memiliki ruas yang lebih panjang, bersih, alamiah, tipis dan anti rayap.
Hampir semua suku di daratan Gunung Mingar di zaman itu mendapatkan api dari Suku Lewugolok. Suku yang pertama menerima api adalah Suku Lama Lele yaitu Ina Ose Gatana (Istri dari Ama Laba Gatobi),
Suatu pagi , waktu itu Ina Ose berada di atas pohon Asam dekat Rumah adat Lamalele, dan mencium bauh bakar dan melihat asap api. Dari situlah Ama Laba menyuru Ina ose untuk meminta Api di Lewugolok.
Sebagai gantinya, Ama Laba Gatobi memberikan atau membagi sebagian tanah menggunakan Samurai (Blida) untuk Suku Lewugolok dari kaki bukit Lamalele - Bukit Osepau - Bukit Deukoli - Bukit Nuba Puke - Lembah Beda Gele - sampai ke Enaj Mitem (Pantai Pasir Hitam).
Kemudian dari bibir pantai Enaj Mitem ke daratan Timur sampai tanjung Tobi Rudu menuju ke Pantai Patapu’u, lalu sampai pada berbatasan dengan Suku Atawua di Desa Tewaowutung.
Untuk diketahui,bahwa Suku Lamalele adalah tuan tanah asli di Desa Lolong sehingga mereka memberikan sebagian tanah untuk Suku Lewugolok. jadi boleh di katakan barter system di terapkan waktu itu. Lewugolok memberikan api, Sedangkan Lamalele memberikan sebagian tanah.
Bahasa nenek moyang waktu itu adalah : "Lije pape lau wata, Ulu re je ili" artinya sebelah kaki ada di bibir pantai, dankepalanya di gunung. Maksudnya adalah garis batas tanah yang telah diserahkan kepada Suku Lewugolok dari Suku Lama Lele .
Api itu kemudian menyebar ke suku-suku lain yang waktu itu masih tinggal secara terpisah di Gunung Mingar. Semoga informasi ini dapat berguna. Sekian !
Referensi : www.lewugolok.blogspot.com .
Sumber Gambar : www.unplash.com
Sangat bermanfaat infonya gan, Thanks
BalasHapus