Tunu Kwaru Nuja adalah sebuah upacara syukur yang dilakukan setiap tahun di Desa Desa Pasir Putih (Mingar) dan Desa Lolong. Setiap musim panen tiba, setiap suku akan menentukan jadwal untuk diadakan upacara dimaksud.
Desa Lolong pada mulanya tergabung dalam wilayah Mingar . Baca disini sejarahnya.
Ada perbedaan di setiap suku dalam hal ritus tunu kwaru nuja ini, karena mengikuti kebiasaan nenek moyangnya. Tetapi latarbelakang sejarah sampai harus diadakan upacara ini tidak ada yang berbeda.
Sobat pembaca blog ini mungkin ada yang sudah pernah turut dalam upacara yang dimaksud. Kalau belum, sobat ketahui dulu sejarahnya. Semoga suatu saat bisa datang ya. hehhehe
Upacara Tunu Kwaru Nuja Foto : Robert Lamalele |
Ketika terjadi bencana , mereka menyelamatkan diri dengan tetap membawa nama kampungnya. Asal nenek moyang orang Mingar yaitu dari Mingar Lolo yang berada di Lewotala Wai Wukak Barek.
Mereka menghuni daerah Mingar Lewu Ala dalam waktu yang cukup lama antara tahun 1300-an sampai tahun 1750 SM. Saat itu terjadi pergolakan di antara mereka yang membuat mereka harus hidup secara terpisah dan membentuk kelompok-kelompok suku.
Sekitar tahun 1750 SM, timbulah bencana kelaparan yang berkepanjangan di wilayah ini. Bahkan tidak lagi tersedia padi dan jagung yang nantinya digunakan sebagai benih.
Menurut sejarah, Seorang yang bernama Laba Mudaj dari suku Ria Geraj mem*unuh seorang wanita dari suku La Mudaj yang bernama Kewa, karena menurutnya wanita itu seorang yang punya imu sihir.
Setelah di*unuh wanita itu tidak dikuburkan, tetapi tubuhnya diletakan di atas batu sehingga saudaranya dari suku La Mudaj datang mengambilnya dan menguburkannya. Sejak saat itu mulai terjadilah percekcokan di antara mereka. Padahal awalnya mereka adalah rumpun suku yang dikenal bersaudara.
Karena pada saat musim tanam tidak ada lagi benih padi dan jagung, maka mereka mengambil tulang dari saudari tersebut dan di bawah ke tengah kebun.
Disana terdapat sebuah batu ceper yang dalam bahasa setempat disebut Bose. Di situ mereka bersumpah bahwa “jika engkau benar di*unuh oleh saudaramu, maka pada saat ini karena padi dan jagung tidak ada maka kami minta engkau berubah menjadi padi dan jagung”. Tak lama kemudian padi dan jagung muncul di atasnya.
Suku La Mudaj menanam padi dan jagung terlebih dahulu kemudian dibagikan kepada suku yang lain.
Makanan pada waktu itu sangat sulit untuk di dapatkan. Setiap orang berusaha untuk mempertahankan hidupnya dengan mengorbankan benda-benda pusaka untuk membeli makanan.
Berawal dari bencana kelaparan, mereka mulai sadar betapa pentingnya mengucapkan syukur atas makanan yang telah diperoleh. Ucapan syukur yang dilakukan pertama-tama kepada Lera Wulan Tana Ekan (Sebutan untuk Tuhan dalam Bahasa Daerah) yang telah menyelamatkan nenek moyang orang Mingar dari bencana alam di pulau Lepan Bata.
Ucapan syukur juga dilakukan karena telah menyertai nenek moyang orang mingar dalam segala usaha selama setahun berlalu, termasuk keberhasilan dalam berkebun.
Pelaksanaan upacara Tunu Kwaru Nuja berawal dari kerinduan yang mendalam kepada seorang saudari yang di*unuh. Selain itu untuk mengenang kembali penjelmaannya menjadi makanan.
Upacara tersebut dilakukan selama tujuh hari tujuh malam setiap tahun pada bulan maret. Dalam perjalanan mengalami pergeseran karena berkaitan dengan kesibukan masyarakat dan keadaan ekonomi yang terus meningkat, maka diputuskan bahwa untuk waktu pelaksanaan upacara ini hanya dilakukan dalam sehari saja.
Semua suku yang berada di Mingar dan Lolong masih mempertahankan kebiasaan ini sampai sekarang tanpa mengubah ritus yang diwariskan oleh nenek moyangnya.
Sobat dapat berkunjung untuk melihat lebih dekat acara ini.
Kisah sejarah disusun oleh Nofrank Jawang berdasarakan penuturan Yohakim Bitol Kabelen dan Theodorus Ratu Punang. Diedit seperlunya dan dipublkasi di blog ini atas izinnya.