Hari itu adalah hari terakhir di lingkaran tahun 2019. Seperti orang-orang di kampung tatangga dan di kota sibuk mempersiapkan segala sesuatu untuk acara syukuran di malam penutupan tahun, di desa ini juga demikian.
Uniknya mereka melibatkan tradisi.
Apa yang dilakukan oleh penduduk di desa ini merupakan sebuah warisan leluhur yang mesti dilakukan setiap tahunnya.
Ritual Oribuka di Pusat Kampung Desa Lolong Foto : Wandy Punang |
Ritual Oribuka merupakan sebuah upacara untuk menyingkirkan segala penyakit di tahun lama dan memohon perlindungan leluhur di tahun yang baru.
Upacara ini dilakukan di sore hari, di pusat kampung yang disebut Nama. Kalo sobat pernah ke desa Lolong, tepatnya di lapangan olahraga yang dirabat semen, terdapat sebuah tempat yang dipercaya sebagai pusat kampung. Tepat di tengah lapangan bola voly. Bagian ini sengaja tidak disemen karena menjadi tempat terjadinya ritual seperti ini.
Okey kita kembali ke masalah Oribuka.
Ritual Oribuka melibatkan seluruh suku yang mendiami Desa Lolong. Jumlahnya ada tujuh.
Suku Lamalele yang bertindak sebagai tuan tanah mempersiapkan nasi dari beras kampung. Sementara Suku Blolong B mempersiapkan sebuah telur ayam kampung yang dibakar dalam bungkusan kulit jagung, juga Suku Ria Geraj mempersiapkan sirih dan pinang.
Mengapa harus ketiga suku ini yang mempersiapkan bahan-bahan penting dalam upacara ini? Karena mereka adalah suku yang punya hak ulayat di desa ini.
Selain bahan penting di atas, ada juga tuak, dua piring kecil (dalam bahasa setempat disebut kwoko lamak) yang terbuat dari daun lontar, juga 1 kulit siput yang harus disiapkan oleh masing-masing suku.
Seorang bapak dari suku Lamalele bertindak sebagai perantara dengan leluhur, mengucapkan ucapan syukur dan permohonan kepada leluhur. Dalam bahasa setempat disebut Prate Amet
Ucapan ini adalah tentang perlindungan dan penyertaan nenek moyang selama setahun dan memohon perlindungan leluhur selama satu tahun ke depannya. Perlindungan atas kejahatan dan wabah penyakit yang akan singgah di desa ini. Jangan sampai ada kerusuhan, pencurian juga pertengkaran dalam keluarga yang mengakibatkan keretakan dalam rumah tangga.
Setelah mengucapkan syukur dan permohonan, masing masing suku yang diwakilkan ole dua orang akan mengantar sesajian ke pinggir kampung ke setiap arah yang telah ditentukan dan menjadi kebiasaan turun temurun. Mereka yang mengantarkan sesajian ini tidak boleh menoleh ke belakang sebelum tiba di tempat yang dimaksud.
Arah tempat mengantar sesajian masing-masing suku ini adalah sebagai berikut.
Suku Lamalele sebagai tuan tanah, sesajian tetap berada di tempat dilakukannya upacara Oribuka. Suku Ria Geraj menaruh sesajian ini di arah timur laut, suku Blolong A di Utara dan Suku Blolong B di arah barat laut .
Suku Punang meletakan sesajian di arah tenggara, suku lamajawa di arah selatan dan suku sura di arah barat daya dari pusat kampung.
Suku lamalele merupakan suku tuan tanah dan pemilik hak ulayat tempat kampung ini berada maka sesajian tetap ditempatkan di pusat kampung. Suku Sura, Blolong A dan B serta Riageraj meletakan masing-masing di sudut kampung searah dengan rumah adatnya.
Suku Punang yang menurut sejarah berasal dari Lepabatan, yang letak di bagian tenggara. Sementara suku Lamajawa ke arah laut karena suku ini datang dari arah laut.
Semua sajian itu diletakan tepat di pinggir kampung.
Orang-orang yang turut dalam upacara Oribuka akan meminum sisa tuak yang dipersiapkan oleh masing-masing suku tadi. Tuak itu tidak boleh ada yang tersisa apalagi dibawa pulang ke rumah.
Selesai upacara ini semua masyarakat kembali ke rumah dan mempersiapkan diri untuk mengikuti misa atau ibadat penutupan tahun. Tidak menutup kemungkinan ada ucapan syukur dan permohonan didoakan oleh masing-masing orang seperti dalam upacara Oirbuka tadi.
Demikian tradisi ini saya tulis sebagai gerakan melawan lupa. Ditulis berdasarkan penuturan Bapak Hendrikus Kasa Lamalele, yang memimpin ritual ini, sesaat sebelum upacara ini dimulai.
Semoga bermanfat!