Kisah sejarah ini ditulis oleh Angela Ferdian Lima (Siswi kelas VI SDI Lewoblolong). Ditulis berdasarkan penuturan Bapak Damianus Bala Punang, dan dikisahkan dalam lomba bertutur budaya yang diselenggarakan oleh Panitia HUT-RI 2020 tingkat Desa Lolong.
Saat pulau Lepanbata tenggelam atau ditutupi oleh air laut akibat es mencair di daerah kutub sekitar tahun 1.300-an SM, semua orang berusaha menyelamatkan diri. dan mencari tempat perlindungan yang aman baik secara kelompok, suku maupun secara individu.
Suku Atapune (Punang) yang mendiami pulau Lepanbata pun terceraiberai. Saat itu yang masih dalam kelompok adalah Dane Ala bersama istri Sora Punang, Lokong Pali Sama Namang, Lara Labi Ama, dan Rubo Libak.
Mereka berhasil mendapat satu perahu dan berlayar menyusur pantai utara pulau Lomblen (Lembata). Di dalam perahu itu berisi alat dan perbekalan termasuk 2 buah batu sakti (Nuba).
Pelayaran mereka sampai di Lamalera dan sempat tinggal disitu selama beberapa saat. Tetapi karena merasa tidak nyaman, mereka meninggalkan Lamalera dan berlayar lagi menyusur pantai selatan Lembata.
Adapun barang bawaan mereka yang ditinggalkan di Lamalera adalah peralatan tenun.
Dalam pelayaran mereka, sempat juga menyinggahi Nubi dan ingin menetap, tetapi karena dirasa tempat tidak memungkinkan, maka pelayaran dilanjutkan ke Tanjung Naga dan berlabuh di Watanlolo.
Sempat tingal di puncak gunung Lamaingu, tetapi karena sudah tidak nyaman, akhirnya mereka berpindah lagi ke bukit Lewugolok yang berada di gunung Mingar. Dalam perjalanan ke Lewugolok , mereka tetap membawa 2 buah batu sakti dan layar perahu mereka.
Sempat tingal dengan suku Lewugolok (Blolong), suku Atapune (Punang) akhirnya berpindah lagi ke Kajonara.
Saat berpindah ke Kajonara, suku Atapune hanya membawa 1 batu sakti (Nuba ) serta layar, dan meningalkan satunya untuk Suku Blolong, dan selanjutnya hingga sekarang dikenal dengan sebutan Nuba Balakae.
Saat tiba di Kajonara, suku Ata Kabelen yang lebih dahulu tinggal disitu mengajak untuk tinggal berdampingan.
Batu sakti yang dibawa sekarang dikenal dengan sebutan Nuba Lagadoni dan layar yang dibawa dijadikan sebagai tikar adat untuk acara merontokan padi setelah panen.
*Lanjutan: Ditulis oleh Wandy Punang, berdasarkan penuturan Bapak Damianus Bala Punang.
Kegiatan berkebun dan tuntutan pemenuhan kebutuhan akan makanan membuat nenek moyang suku Atapune harus berkebun jauh dari rumah (suku) mereka di Mingar.
Ada yang berkebun bahkan sampai ke daerah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Tewaowutung. Karena sering pulang terlambat dan bermalam di jalan, maka sebagian dari mereka membuat pondok peristirahatan di bukit Nedem yang terletak di Desa Lolong, sekarang.
Sebagian dari suku Atapune yang berada di Mingar akhirnya ikut berpindah ke pondok istirahat ini dan mulai membangun peradaban.
Karena ada beberapa kerikil sakti (vurek) dan barang-barang sakti lainnya, maka suku atapunang yang sekarang berdiam di desa Lolong juga memiliki sebuah rumah adat untuk menyimpan benda-benda peninggalan nenek moyang itu.
Pada mulanya generasi suku Atapunang tumbuh dan berkembang di 2 tempat yakni di Mingar ( Desa Pasir Putih ) dan di Labanawo ( Desa Lolong), sebelum tersebar di beberapa tempat karena perkawinan dan merantau. Sekian!
Kisah sejarah ini ditulis secara singkat. Kami sedang mengumpulkan kisah lengkapnya dan akan dipublish di blog ini. Tetap pantau blog ini yah..Terima kasih
Mantap bang
BalasHapusTerima Kasih..
Hapus