Bubu di sebagian daerah di Lembata, mungkin sudah tidak terlihat lagi. Di Desa Lolong masih ada beberapa pengrajin yang sedang memproduksinya untuk dipakai sendiri dan dijual ke desa tetangga. Dalam bahasa setempat disebut Blike. Keterampilan mengayam alat tangkap ini diwariskan secara turun temurun. Di tengah gempuran alat tangkap yang modern masih ada beberapa orang yang mempertahankan sistem penangkapan ikan ala tradisional ini.
Bubu dianyam berbentuk persegi enam menggunakan bahan bilah bambu atau buluh yang diiris tipis dan terdapat lubang berbentuk kerucut di bagian belakangnya sebagai tempat ikan masuk ke dalam bubu. Ikan akan masuk melalui lubang kerucut yang lebar di bagian depan dan mengecil di bagian ujungnya sehingga sulit keluar lagi.
Besar kecilnya Bubu mengikuti besar kecilnya irisan buluh yang dipakai saat menganyam. Bubu dipasangkan sebanyak 22 buah batang kayu bulat kecil yang diikat di setiap sisinya. Bisa juga menggunakan dahan bambu. Tali yang dipakai adalah tulang daun lontar, yang dalam bahasa setempat disebut Tali Keragang. Zaman sekarang sudah bisa diganti dengan tali nilon.
Tidak ada perbedaan bentuk bubu yang dilepas di pinggiran dengan yang dilepas di kedalaman lebih dari 5 meter. Perbedaannya hanya saat pemasangan maupun juga saat panen.
Untuk Bubu yang dilepas di pinggiran , batu batu lepas diambil dan disusun sedemikian rupa untuk menahan bubu dan menjadi jalur masuknya ikan. Berbeda dengan yang dilepas di kedalaman, Bubu di pinggiran dipasang dan dipanen hanya pada saat air laut surut. Di Daerah ini, gelombang laut sangat kuat, sehingga kadang ada bubu yang rusak dan terbawa air laut.
Bubu yang dilepas di kedalam lebih dari 5 meter, dipasang dengan pemberat dari batu yang diambil di daratan bukan batu karang di dasar laut. Ujung tali diikat pelampung dari botol minuman bekas sebagai penanda. Zaman dahalu pelampung menggunakan bambu dan tali dari tali hutan atau rotan.
Bubu sering bergeser diterpa gelombang dan arus laut sehingga bila tidak ada pelampung maka pasti kesulitan mencarinya. Tidak ada dilema yang dirasakan saat memasang pelampung penanda bubu, sebab mereka percaya setiap orang yang mencari rezeki di laut pantang mengambil yang bukan miliknya.
Bagaimana dengan di daerahnya kawan – kawan, apakah masih ditemui alat tangkap ikan ramah lingkungan ini? atau ada warga yang sering kehilangan bubu karena ulah manusia ? Tulis di komentar yah….
Terus berkarya mas bro...
BalasHapusTerima kasih
Hapus